Kamis, 19 Juni 2014

Dilema

Sedikit banyak risau harus[nya] kau abaikan.
Apa enaknya memendam gelisah sendiri?
Tak tahukah kau ruang hatimu terlalu sempit menghakimi waktu yang menurutmu selalu menyengsarakanmu?
Andaikata rindu tak pernah menyapamu, masihkah kau mengeja namanya?
Sepertinya kau terlalu merekatkan perasaanmu pada harap yang selalu mengacuhkanmu.
Ah, tak perlu kau sesali.
Hempaskan saja jika kau tak suka.
Menangis saja jika kau marah.
Melupa?
Jangan harap secepat itu.
Tak inginkah kau coba berdamai dengannya?
Pada[nya]... Kenangan.

Harap

Ah, seperti tanah gersang yang merindukan tetesan hujan. Atau mungkin menanti sesuatu yang tak tahu kapan akan tiba.
Tiba-tiba saja ada percakapan kita di sela hening yang membungkus ruang hati. Tak ku tahu mengapa degup jantungku berdetak begitu cepat, seolah aku berada dalam pertandingan lari.
Ketika wajah teduhmu mengalihkan pandanganku seketika, waktu seolah-olah berhenti.
Aku merasa kita pernah bertemu sebelumnya, entah di mana. Atau aku melihatmu di bawah alam sadarku?
Aku pun tak mengerti.
Lalu, apa kiranya maksud semesta mempertemukan kita?

Sebuah harap yang menuntunku merapal namamu dalam untaian doaku?

Delusi

Kepadanya, ia bercerita tentang daun-daun gugur, gemerisik angin, dan gemercik air.
Tentang sebuah [r]asa yang ia genggam erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya pergi.
Lalu kutemukan berlembar-lembar catatan usang tak bernama memenuhi sudut kamarnya.
"Senyum lirih tak pernah pergi, aku tahu diri siapa yang harus berjarak."
Tak kupahami sepenggal baris kata yang samar maknanya.
Kulihat ia memungut satu-persatu butiran bening dari pelupuk matanya, menyimpannya dalam sebuah kotak kaca.
Tiba-tiba ia tertawa tanpa jeda sampai tubuhnya roboh tak berdaya.
Aku mematung.
Ia adalah diriku.

[ke]Pergi[an]

Perihal kepergian, entah selalu membentuk ruang kosong di hati.
Seberapa luas kebesaran hati merelakan kepergian pun tak bisa dijabarkan.
Hanya si pemilik hati yang tahu.

Kepergian pun selalu menyuguhkan jarak, memintal rindu.
Kau hanya harus bersabar saat rindu menghujanimu namun kau tak bisa apa-apa kecuali menampungnya.
Walau mungkin harus berbentuk butiran bening di pelupuk mata.

Tak bisakah kau tinggal di sini saja, di sisiku?
Melihat punggungmu menjauh rasanya mengoyak harapanku.

Sebab kepergianmu membuat separuh hatiku ikut pergi.

Juni

Juni...
Masih tentang harapan dan impian.
Tentang ci[n]ta yang masih tanda tanya.
Menikmati segala sepi dengan keresahan yang entah sampai kapan.
Hanya bisa menitipkan harap lewat setangkup doa.
Atas luka yang pernah ada, semoga segera mengring.

Kali ini, kubiarkan hatiku membeku untuk semua perasaan yang berdatangan.
Tak ingin menyambutnya dengan suka cita yang pada akhirnya berakhir kekecewaan.
Terlalu tergesa-gesa membuka hati, merajut perasaan.

Terima kasih, berkatmu aku bisa memahami sekali lagi apa yang tak perlu aku perjuangkan lagi.